Sabtu, 15 April 2017

RAGU untuk MENIKAH

Seperti orang menunggangi kuda yang berlari kencang, berusaha untuk tetap ada di atasnya meskipun terpontang panting, karena takut jatuh, terseret, lalu mati.     
---------------------------------------------------------------------------
Ketika tunangan saya memutuskan untuk pindah kerja ke Jakarta (April 1996), saya akhirnya menyusul ke Jakarta, Mei 1997. (cerita lengkapnya ada di http://ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/04/mencegah-selingkuh.html)
Ternyata tinggal di Jakarta sebagai anak kost sangat menyenangkan.
Kantor saya berada di kawasan Pondok Indah yang ramai dan berfasilitas lengkap.
Saya tinggal di kost-kostan yang jaraknya hanya 5 menit berjalan kaki menuju kantor dan cukup dekat dengan mall Pondok Indah.Untuk makan siang dan makan malam, ada banyak warung nasi dengan harga murah meriah. Bisa juga makan di mall sambil cuci mata.
Tidak hanya itu, seminggu sekali saya bisa berenang sepulang kerja di kolam renang samping Pondok Indah Mall.
Selain kehidupan pribadi, kehidupan kerjapun berubah.
Di tempat kerja saya sebelumnya, di Bandung, kami kontraktor gudang / pabrik juga merangkap perencana struktur, arsitektur, Mekanikal Elektrikal, infrastruktur juga landscape sederhana. Sekarang, di perusahaan konsultan asing ini, kami menangani proyek apartment, rumah sakit berstandar international, sekolah international dan proyek-proyek prestisius lainnya. 
Saya berkenalan dengan banyak orang, bermacam profesi dari bidang supplier, kontraktor, konsultan ataupun pemilik proyek. Beberapa dari mereka adalah expatriate, dan kondisi itu mendorong saya untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, lisan dan tulisan, selain penyesuaian penampilan. Kondisi ini kadang membuat stress, tetapi saya terus berupaya, seperti orang menunggangi kuda yang berlari kencang, berusaha untuk tetap ada di atasnya meskipun pontang panting, karena begitu takut terjatuh, terseret, lalu mati mengenaskan.    

Hal ini jauh berbeda dengan tunangan saya. 
Dia selalu nyaman dengan apa yang ada, tidak terbeban, meskipun sudah berumur lebih dari 30 tahun tidak punya tabungan, apalagi rumah atau mobil pribadi. 
(cerita lengkapnya ada di http://ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/03/harus-berpisah.html )
Katanya, sayalah yang membuat dia pindah ke Jakarta, mencari penghasilan yang lebih tinggi.
Sekarang, di Jakarta pun, dia pindah dari perusahaan sebelumnya dan pindah ke perusahaan lain yang nyaman, yang penuh kekeluargaan (= bisa sering-sering ngobrol, ngerumpi), yang urusan HRD-nya tidak ketat karena tidak ada department Human Resources, yang bisa datang kesiangan tanpa ditegur (padahal sanksi-nya adalah "uang kerajinan" hangus),yang bisa istirahat makan siang tidak dibatasi 1 jam karena karyawan lainpun ramai-ramai seperti itu. Seperti orang yang memilih berjalan kaki daripada naik kuda karena tidak mau terjatuh. Beda banget, bukan?

Suatu hari, saya diajak ke tempat kostnya di rumah susun Pulo Mas, Jakarta Timur, tidak jauh dari terminal Pulo Gadung. Dia bersama JN, teman waktu kuliah di Yogya, menyewa 1 unit rumah tipe 36 dengan 2 kamar tidur, di lantai paling atas di tower yang cukup jauh dari jalan raya. Semua bangunan di kompleks ini tidak ada lift, jadi makin tinggi lantainya, sewanya paling murah. Naik tangganya menyita tenaga, membuat ngos-ngosan. Beberapa kali datang ke situ, terasa lingkungan yang tidak nyaman. Selain ada wanita simpanan, "ayam kampus", istri muda, penjual dan pemakai narkoba, pengedar uang palsu, debt collector, juga beberapa preman yang suka mabuk kemudian berkelahi sambil berteriak-teriak. Kalau urusan adu kencang nyetel musik, itu sudah biasa.
Herannya, tunangan saya ini merasa asyik-asyik saja berada di kawasan ini, karena dia pernah tinggal di sini bertahun-tahun sebelum pindah kerja di Bandung dan bertemu saya. Aneh, padahal saya yang sejak balita tinggal di pinggir kali pun merasa kurang nyaman dengan lingkungan ini.
(cerita lengkapnya ada di www.ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/02/dari-pinggir-kali-ke-rumah-real-estate.html )
Dia berkata bahwa sesudah menikah, kami akan tinggal di situ.

Dia yakin saya tidak keberatan, karena "Aku berani menikah sama kamu, karena sebagai orang dari latar belakang yang tidak mampu, pasti mau diajak hidup susah!"
What?? Betapa kasihannya mami, membesarkan anak sulungnya ini hanya untuk meneruskan hidup susah orang tuanya? Orang tua sudah bersusah payah mengeluarkan ketiga anaknya dari "kubangan", dan sekarang saya diajak masuk ke "kubangan lain"?

Apakah sikap yang baik, penuh perhatian, banyak pengertian, dan cinta cukup kuat untuk sebuah pernikahan yang sehat?
Pernikahan bukan hanya persekutuan 2 orang untuk menghasilkan anak-anak, lalu cucu cicit, menjadi tua bersama-sama.
Istilah "rumah tangga" itu tepat... selain tinggal bersama di "rumah" = satu bangunan yang 
aman (tidak dirundung kecemasan didatangi orang jahat / orang mesum / phedofil),  
nyaman (tidak dihantui banjir setiap turun hujan, kebakaran karena rumah-rumah kecil berhimpitan, sangat padat penduduk),
sehat ( tidak dikelilingi banyak orang dengan "penyakit masyarakat")
damai sejahtera (bukan tiap bulan dikejar-kejar uang sewa rumah, rekening listrik dan PDAM, uang sekolah anak, apalagi hutang warung, gali lubang tutup lubang), 
juga ada "tangga" yang mengingatkan bahwa pernikahan seharusnya membentuk pribadi-pribadi yang lebih baik, lebih tangguh, lebih dewasa, menjadi manusia yang semakin sukses lahir batin dari hari ke hari. 
Apakah itu harapan yang terlalu muluk?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar