Hari ini, 20 Februari, mami berulang tahun yang ke 73. Di usia
senjanya masih enerjik, naik angkutan umum / ojek ke mana-mana, naik bus Bandung
- Bekasi, menerima orderan menjahit pakaian, menjaga warung, juga menerima
titipan cucu-cucunya.
Mami lahir di tahun 1944, sebagai anak ke-10.
Sesudah drop out kuliah di tahun pertama, karena keterbatasan biaya, mami
bekerja di Apotik.
Sesudah menikah di tahun 1972 dan dikarunia 2 orang
anak yang beda usia hanya 17 bulan, mereka tinggal di mess karyawan pabrik
tekstil, tempat papi bekerja sebagai teknisi mesin. Untuk mencukupi kebutuhan
hidup, mami membuat kue dan menjualnya kepada karyawan di pabrik.
Sesudah kakek meninggal, kami pindah ke rumah bekas
Kakek di pinggir kali. Aksesnya berupa jalan kecil yang hanya bisa dilalui
becak. Ada banyak jalan kecil yang saling terhubung dan berfungsi juga sebagai
tempat jemuran, tempat bermain, tempat parkir motor tamu, juga tempat Ibu-Ibu
cari kutu rambut. Semua rumah berhimpitan, tidak ada yang punya septic tank.
Di tempat itulah, saya dan adik lelaki saya
bertumbuh sejak batita.
Meskipun
begitu, Mami tidak menyerah dengan keadaan.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup dan membayar uang sekolah, mami
membuat es mambo dan sambil berangkat sekolah, kami mampir ke sekolah sekolah
lain untuk menitipkan dagangan. Saat pulang sekolah, kami mampir lagi untuk
mengambil uang hasil penjualan es hari itu dan membawa pulang termosnya. Hal
yang menyedihkan adalah saat musim hujan di mana termos-termos itu masih
berat karena kurang laku.
Sepulang sekolah, saya dan adik membantu mami memasukkan buah
papaya, nanas dan bengkuang yang sudah dipotong kecil-kecil ke dalam plastic es
mambo. Dari setiap plastic yang terisi, kami mendapat upah dan dituliskan ke
buku kecil. Seminggu sekali, upah tersebut diuangkan dan mami mengantar kami
berjalan kaki ke BTN untuk menyetorkannya. Nilai nominal-nya tidak seberapa,
tetapi mami selalu mengingatkan bahwa uang itu diperlukan untuk masuk SMP
kelak.
Saat hari raya, baik Natal ataupun Lebaran, mami menerima pesanan
kue kering dan cake buah-buahan / cake pelangi. Jika ada kue yang gagal, maka
itu untuk dimakan sendiri. Konyolnya, kami sebagai anak-anak yang belum
mengerti untung-rugi, malah merasa senang-bisa kebagian kue.
Mami pun menerima jahitan baju dan saya kebagian tugas pasang
kancing. Sesudah lebih besar, saya membantu juga menjahit lipatan baju.
Mami mengajarkan kami untuk tidak merasa malu dengan keadaan, selama
perbuatan kita baik di mata Tuhan. Tidak usah malu untuk pergi pulang sekolah
dengan berjalan kaki. Untuk bersuka cita saat menerima baju-baju layak pakai.
Mami selalu mengingatkan bahwa kita tidak miskin, karena masih banyak orang
yang bahkan tidak punya rumah, tidak bisa makan.
Saat kami dibully karena menjadi keluarga keturunan Cina
satu-satunya di kawasan tersebut, mami bilang, "Kita tidak bisa memilih
lahir sebagai orang apa. Jadi, biarkan saja ... tidak usah dipikirin."
Meskipun mami sibuk membantu papi mencari nafkah, mami mendidik
kami dengan sangat disiplin. Sejak bangun tidur, sudah ada jadwal kegiatan. Jam
berapa harus mandi, jam berapa harus berangkat mengantar es. Pulang sekolah
harus langsung ganti baju, makan siang, lalu tidur siang. Ada jam khusus
belajar dan jam 9 malam harus sudah tidur.
Kadang kami diberi waktu untuk bermain-main dengan tetangga
(lompat tali, petak umpet, masak-masakan dari tanah, galah panjang, benteng-bentengan).
Jika keasyikan sehingga pulang kesorean, lewat jam mandi sore, siap-siap
disabet lidi di paha.
Di sisi lain, mami adalah pribadi yang kreatif. Saat hanya ada
nasi, kerupuk dan kecap, mami akan "memodifikasi" makanan itu menjadi
bola-bola nasi dan menyuapi kami. Jika ada rejeki lebih, mami membeli abon dan
menaruhnya sedikit-sedikit di dalam bola-bola nasi. Dan, makanan ini pun
menjadi spesial. Senangnya....
Ketika papi kena PHK karena masuk usia pensiun, mami sibuh mencari
warung kecil yang bisa disewa murah. Saat itu, tangan mami sudah kaku karena terlalu
sering dan bertahun-tahun kontak dengan es dan itu merusak saraf-saraf tangannya.
Cita-cita mami sederhana, ingin ketiga anaknya bisa kuliah dan
menjadi sarjana. Ia berharap masa depan anak-anaknya lebih cerah dari papinya
yang pekerja pabrik ataupun maminya yang bekerja serabutan.
Masa kecil sejak kami SD : sudah "mencari uang dengan jualan
es" membuat kami tangguh, tahan banting. Sambil kuliah, di waktu luang
saya memberi les.pelajaran untuk anak-anak SD & SMP, sedangkan adik
laki-laki saya memberi les bela diri. Kami pun belajar dan mengerjakan tugas
sekolah sambil menjaga warung. Warung mami semakin besar dan beragam barang
jualannya, dari beras, minyak goreng, rokok, sabun, sendal jepit, s.d. plastik
dan kertas bungkus nasi.
Puji Tuhan, semua jerih payah mami tidak sia-sia.
Berbeda dengan tetangga - tetangga kami yang tetap tinggal di
pinggir kali, beranak cucu di situ, kami berhasil keluar dari lingkungan
tersebut dan hidup lebih layak.
Semua
anaknya lulus kuliah, menjadi sarjana Teknik Sipil, Teknik Elektro dan Sarjana
Ekonomi.
Semua anaknya bekerja, menikah, dan mampu membayar cicilan KPR
untuk tinggal di rumah layak, di lingkungan real estate. Mami saat ini sudah
punya 5 orang cucu dan bisa liburan keluar kota dan sekali ke Singapura &
Malaysia.
Semoga didikan mami bisa menjadikan cucu-cucunya tangguh seperti
yang mami lakukan untuk anak-anaknya. Panjang umur ya mami.... God bless you.
Cerita bisa berlanjut ke www.ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/03/merangkak-meniti-karier.html
Sangat menyentuh dan benar bahwa pendidikan adalah segala2nya, orang tua kita memeberikan pendidikan sebagai warisan yg tidak ternilai, tergantung kita apakah bisa memanfaatkan warisan yg tak ternilai itu untuk kehidupan kita yg lebih baik
BalasHapus