Senin, 20 Februari 2017

DARI PINGGIR KALI KE RUMAH REAL ESTATE

APAPUN  DIPERJUANGKAN  UNTUK  ANAK-ANAK


Hari ini, 20 Februari, mami berulang tahun yang ke 73. Di usia senjanya masih enerjik, naik angkutan umum / ojek ke mana-mana, naik bus Bandung - Bekasi, menerima orderan menjahit pakaian, menjaga warung, juga menerima titipan cucu-cucunya.
Mami lahir di tahun 1944, sebagai anak ke-10. Sesudah drop out kuliah di tahun pertama, karena keterbatasan biaya, mami bekerja di Apotik.  
Sesudah menikah di tahun 1972 dan dikarunia 2 orang anak yang beda usia hanya 17 bulan, mereka tinggal di mess karyawan pabrik tekstil, tempat papi bekerja sebagai teknisi mesin. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, mami membuat kue dan menjualnya kepada karyawan di pabrik. 
Sesudah kakek meninggal, kami pindah ke rumah bekas Kakek di pinggir kali. Aksesnya berupa jalan kecil yang hanya bisa dilalui becak. Ada banyak jalan kecil yang saling terhubung dan berfungsi juga sebagai tempat jemuran, tempat bermain, tempat parkir motor tamu, juga tempat Ibu-Ibu cari kutu rambut. Semua rumah berhimpitan, tidak ada yang punya septic tank. 
Di tempat itulah, saya dan adik lelaki saya bertumbuh sejak batita.
Meskipun begitu, Mami tidak menyerah dengan keadaan.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup dan membayar uang sekolah, mami membuat es mambo dan sambil berangkat sekolah, kami mampir ke sekolah sekolah lain untuk menitipkan dagangan. Saat pulang sekolah, kami mampir lagi untuk mengambil uang hasil penjualan es hari itu dan membawa pulang termosnya. Hal yang menyedihkan adalah saat musim hujan di  mana termos-termos itu masih berat karena kurang laku.
Sepulang sekolah, saya dan adik membantu mami memasukkan buah papaya, nanas dan bengkuang yang sudah dipotong kecil-kecil ke dalam plastic es mambo. Dari setiap plastic yang terisi, kami mendapat upah dan dituliskan ke buku kecil. Seminggu sekali, upah tersebut diuangkan dan mami mengantar kami berjalan kaki ke BTN untuk menyetorkannya. Nilai nominal-nya tidak seberapa, tetapi mami selalu mengingatkan bahwa uang itu diperlukan untuk masuk SMP kelak.
Saat hari raya, baik Natal ataupun Lebaran, mami menerima pesanan kue kering dan cake buah-buahan / cake pelangi. Jika ada kue yang gagal, maka itu untuk dimakan sendiri. Konyolnya, kami sebagai anak-anak yang belum mengerti untung-rugi, malah merasa senang-bisa kebagian kue.
Mami pun menerima jahitan baju dan saya kebagian tugas pasang kancing. Sesudah lebih besar, saya membantu juga menjahit lipatan baju.
Mami mengajarkan kami untuk tidak merasa malu dengan keadaan, selama perbuatan kita baik di mata Tuhan. Tidak usah malu untuk pergi pulang sekolah dengan berjalan kaki. Untuk bersuka cita saat menerima baju-baju layak pakai. Mami selalu mengingatkan bahwa kita tidak miskin, karena masih banyak orang yang bahkan tidak punya rumah, tidak bisa makan.
Saat kami dibully karena menjadi keluarga keturunan Cina satu-satunya di kawasan tersebut, mami bilang, "Kita tidak bisa memilih lahir sebagai orang apa. Jadi, biarkan saja ... tidak usah dipikirin."
Meskipun mami sibuk membantu papi mencari nafkah, mami mendidik kami dengan sangat disiplin. Sejak bangun tidur, sudah ada jadwal kegiatan. Jam berapa harus mandi, jam berapa harus berangkat mengantar es. Pulang sekolah harus langsung ganti baju, makan siang, lalu tidur siang. Ada jam khusus belajar dan jam 9 malam harus sudah tidur. 
Kadang kami diberi waktu untuk bermain-main dengan tetangga (lompat tali, petak umpet, masak-masakan dari tanah, galah panjang, benteng-bentengan). Jika keasyikan sehingga pulang kesorean, lewat jam mandi sore, siap-siap disabet lidi di paha.
Di sisi lain, mami adalah pribadi yang kreatif. Saat hanya ada nasi, kerupuk dan kecap, mami akan "memodifikasi" makanan itu menjadi bola-bola nasi dan menyuapi kami. Jika ada rejeki lebih, mami membeli abon dan menaruhnya sedikit-sedikit di dalam bola-bola nasi. Dan, makanan ini pun menjadi spesial. Senangnya....
Ketika papi kena PHK karena masuk usia pensiun, mami sibuh mencari warung kecil yang bisa disewa murah. Saat itu, tangan mami sudah kaku karena terlalu sering dan bertahun-tahun kontak dengan es dan itu merusak saraf-saraf tangannya.  
Cita-cita mami sederhana, ingin ketiga anaknya bisa kuliah dan menjadi sarjana. Ia berharap masa depan anak-anaknya lebih cerah dari papinya yang pekerja pabrik ataupun maminya yang bekerja serabutan.
Masa kecil sejak kami SD : sudah "mencari uang dengan jualan es" membuat kami tangguh, tahan banting. Sambil kuliah, di waktu luang saya memberi les.pelajaran untuk anak-anak SD & SMP, sedangkan adik laki-laki saya memberi les bela diri. Kami pun belajar dan mengerjakan tugas sekolah sambil menjaga warung. Warung mami semakin besar dan beragam barang jualannya, dari beras, minyak goreng, rokok, sabun, sendal jepit, s.d. plastik dan kertas bungkus nasi.
Puji Tuhan, semua jerih payah mami tidak sia-sia.
Berbeda dengan tetangga - tetangga kami yang tetap tinggal di pinggir kali, beranak cucu di situ, kami berhasil keluar dari lingkungan tersebut dan hidup lebih layak.
Semua anaknya lulus kuliah, menjadi sarjana Teknik Sipil, Teknik Elektro dan Sarjana Ekonomi. 
Semua anaknya bekerja, menikah, dan mampu membayar cicilan KPR untuk tinggal di rumah layak, di lingkungan real estate. Mami saat ini sudah punya 5 orang cucu dan bisa liburan keluar kota dan sekali ke Singapura & Malaysia.
Semoga didikan mami bisa menjadikan cucu-cucunya tangguh seperti yang mami lakukan untuk anak-anaknya. Panjang umur ya mami.... God bless you.
Cerita bisa berlanjut ke www.ayamrajawali.blogspot.co.id/2017/03/merangkak-meniti-karier.html

1 komentar:

  1. Sangat menyentuh dan benar bahwa pendidikan adalah segala2nya, orang tua kita memeberikan pendidikan sebagai warisan yg tidak ternilai, tergantung kita apakah bisa memanfaatkan warisan yg tak ternilai itu untuk kehidupan kita yg lebih baik

    BalasHapus