Menjelang tahun 2000, kami menghadiri acara pesta
pernikahan keluarga jauh. Selain pesta yang cukup mewah, orang tua pengantin
pria yang secara ekonomi cukup makmur, telah memberikan mobil dan
melunasi uang muka rumah sebagai hadiah untuk pengantin baru ini.Wow, meskipun pengantinnya baru berumur 20 tahunan, mereka langsung mapan.
Hal itu menyebabkan saya kehilangan sukacita saat perjalanan pulang ke
rumah kontrakan kami. Saya mengeluh….betapa hidup ini tidak adil. Mengapa
banyak orang hidup bersusah payah, termasuk saya, di sisi lain, ada yang begitu
mudahnya mendapatkan segala sesuatu.
Juli 2003, di sebuah acara kumpul keluarga, kami bertemu
kembali dengan pengantin tersebut, yang sudah dikaruniai seorang anak. Sang istri sekarang menjadi karyawati dan
suaminya sedang menganggur. Hm … dari gelagat mereka, sepertinya ada masalah
dalam rumah tangga ….Semoga perasaan kami ini salah.
Beberapa tahun berlalu, beredar kabar bahwa mereka dalam proses
perceraian. Lho?
Bukan masalah orang ketiga, bukan juga masalah ekonomi, tetapi masalah
kedewasaan.
Ketika mereka menikah, mereka adalah pasangan “a boy and a girl”.
Bersama berjalannya waktu, sang istri menjadi Wanita (Woman), tetapi
suaminya tetap a boy, tidak kunjung menjadi dewasa (Man).
Suaminya selalu punya alasan untuk berhenti dari pekerjaannya. Tidak
cocok dengan lingkungan kerjanya lah…. tidak cocok dengan rekan kerjanya lah ….
tidak cocok dengan pekerjaannya lah … dan kemudian menganggur di rumah. Sesudah
didesak-desak oleh istri dan orang tuanya, baru dia mencoba lagi, tetapi pekerjaan
yang baru pun tidak akan berlangsung lama.
Suaminya terbiasa meminta bantuan kepada orang tua, bahkan sesudah anak
mereka lahir.
Bahkan ketika ekonomi orang tuanya redup, suaminya tetap tidak berubah.
Urusan bayar cicilan rumah, biaya hidup sehari-hari dan biaya anak,
istrilah yang berperan penuh, menjadi pencari nafkah dan suaminya terus “menikmati
hidup yang cuma satu kali ini”. Suaminya asyik sendiri bersama teman-temannya,
main bilyar, ke kafe / diskotik, jalan-jalan, pokoknya have fun terus.
Kesabaran istri ini pun habis dan ia menggugat cerai.
Hm … ternyata punya suami kaya harta bukan jaminan hidup bahagia, ya?
Yang penting ternyata kaya akhlak, kaya budi pekerti, kaya hati…. Kaya
harta bisa menyusul jika Tuhan ijinkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar