Jumat, 17 Maret 2017

TRAUMA BERAT


Saya berteriak kuat-kuat dan untungnya ada tetangga lain, seorang ibu-ibu cukup tua, yang kebetulan lewat! Dia segera masuk.....

----------------------------------------------------------------------------
Suatu hari, Pak SK menyatakan kaca mata saya terlalu bulat dan besar, membuat muka terlihat “lucu” (seperti Alvin di film kartun “Alvin and The Chipmunk”).
Jadi, saat weekend, dia mengajak saya ke toko kaca mata di dekat Stasiun Kereta Api – sisi belakang. Area ini padat kendaraan, karena ada terminal kendaraan umum yang berlokasi tepat di belakang Stasiun.
Kami dapat parkir mobil cukup jauh, dan dari situ terpaksa berjalan kaki menuju toko.
Jalan raya sangat padat. Kami berjalan masing-masing di trotoar yang dipenuhi pedagang, sampai suatu ketika dia menarik tangan saya.
Saya langsung terkejut dan marah.
Dia segera jelaskan, “Kamu ini jalan semakin jauh dari trotoar. Kalau kamu tertabrak / tersenggol gimana? Makanya tangan kamu saya pegang. Masak gitu aja marah?”
Saya tetap tidak terima dan ngambek.Dia terheran-heran, pegangan tangan saja koq tidak boleh?

Malamnya, saya teringat acara kumpul-kumpul keluarga besar akhir tahun lalu di rumah almarhumah nenek. Benar-benar keluarga besar, karena  Nenek punya 12 orang anak (dari kakek, suami keduanya) dan dikaruniai lebih dari 50 orang cucu, juga cicit.
Di acara tersebut, saudara sepupu bercerita dengan ekspresi bahagia mengenai pacarnya yang sering merangkul dan memeluk erat sampai kadang dia jadi susah bernafas. Mereka akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Pendengar ramai-ramai menanggapi. Suasananya begitu ceria.
Saya hanya bengong…koq bisa pada happy pada topik "pelukan sampai susah nafas" sih?
Saya malah merasa ngeri… membayangkan dipeluk saja sudah membuat saya takut juga marah!

Hm … Perasaan takut dan marah yang sama dengan kejadian tadi siang.
Kenapa begini, ya? Sampai kapan saya akan “aneh” begini ?
Padahal kejadian buruk itu sudah terjadi beberapa tahun lalu, saat saya SMP (tahun 1985 - 1988)
Keluarga kami tinggal di rumah pinggir kali. Ada banyak jalan kecil yang saling terhubung dan berfungsi juga sebagai tempat jemuran, tempat bermain, tempat parkir motor, dan lain lain. Semua rumah berhimpitan. Dengan sirkulasi udara yang tidak terlalu bagus itu, umumnya orang membuka pintu rumah selain jendela.

Suatu hari, saat lingkungan sekitar rumah sedang sepi, seorang pemuda, tetangga yang tinggal tepat di depan rumah, mendadak masuk ke dalam rumah. Katanya ada perlu dengan mami. Ketika tahu bahwa di rumah hanya ada saya sendirian, dia langsung menjadi beringas. Dia mendesak saya sampai ke pojok ruangan dan tangannya mulai gerayangan.
Saya berteriak kuat-kuat dan untungnya ada tetangga lain, seorang ibu-ibu cukup tua, yang kebetulan lewat! Dia segera masuk, memarahi pemuda itu dan beberapa tetangga lain ikut masuk. Saya menangis di pojok ruangan.  Ibu itu datang merangkul dan bertanya, apakah saya tidak kenapa-kenapa?
Sebenarnya itu timing yang tepat untuk membuka apa yang baru saja terjadi …. tetapi saya shock ... hanya bisa geleng-geleng kepala.
Mereka lalu bicara satu sama lain, kurang lebih … bajunya masih lengkap, belum sempat “kejadian”… orang tuanya tidak perlu tahu … daripada nanti gegeran.  
Lalu mereka semua keluar dan meninggalkan saya kembali sendirian.

Seperti yang mereka harapkan, kehidupan di kampong ini kembali “normal”.
Bahkan pemuda mesum itu tetap bersikap “normal” saat bertemu orang tua saya.
Saat sekitar rumah sedang sepi, ia tetap berusaha masuk ke dalam rumah dengan alasan mau ketemu mami. Satu-satunya cara adalah menutup pintu dan jendela rapat-rapat saat hanya saya yang berada di rumah sendirian, meskipun rumah menjadi penyap dan gelap.
Saat saya dan pemuda mesum itu berpapasan di jalan kecil depan rumah, sekalipun di depan orang banyak, dia akan berkata, “Eh anak dara… anak dara … dada rata. Cepat punya pacar dong biar dadanya jadi montok!” Lalu dia tertawa-tawa setengah mengejek. Celakanya, orang itu tetap menjadi tetangga saya selama bertahun-tahun, sampai saat ini!!

Bagiku, semua tidak lagi sama sejak kejadian itu.
Bahkan setelah pindah dari rumah itu pada April 1997, saya tetap sering bermimpi ada di rumah yang sama. Dalam suasana yang kelam dan muram, penuh ketakutan, berusaha menutup pintu dan jendela. Biasanya mendadak ada pintu atau jendela yang terbuka. Atau dalam mimpi lain, saya penuh dengan rasa cemas dan tercekam, mengintip-intip keluar rumah, memastikan tidak ada orang yang menerobos masuk.
Ya … semua tidak akan pernah kembali normal seperti yang orang lain pikirkan atau harapkan…. meski waktu terus berlalu tahun demi tahun… meski saya berusaha lagi dan lagi... dan lagi .....dan lagi........dan lagi untuk melupakannya.

Ternyata saya tetap menangis saat menuliskan cerita ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar