Minggu, 22 Januari 2017

Antara Jepitan Ekonomi dan Perpisahan Keluarga



Sejak menikah pada November 1997, kami menyewa 1 kamar, bukan 1 unit, di lantai paling atas Rumah Susun Pulo Mas, Jakarta Timur. Harga sewa di lantai paling atas adalah paling murah karena tidak ada lift.
Ketika saya positif hamil, kami pindah kost ke daerah Radio Dalam, Jakarta Selatan agar lebih dekat dengan kantor. Belum 1 minggu kami pindah, kantor mengadakan perampingan karyawan dan awal Mei 1998, saya menganggur. Dalam keadaan hamil, krisis moneter dan kerusuhan besar, hilanglah harapan kami untuk memiliki rumah.
Juni 1998, kami pindah ke Bekasi. Karena hanya 1 orang yang mencari nafkah, uang tabungan mulai terpakai untuk membayar kontrakan rumah, membeli perabotan dan keperluan dapur, biaya melahirkan dan keperluan bayi yang lahir prematur. Hidup serba pas-pasan, di mana 1 meja makan dan 2 kursi menjadi multi fungsi, untuk menerima tamu, untuk makan, tempat menyetrika, juga untuk meja kerja.
Kesulitan ekonomi ini gampang memicu pertengkaran.
Setelah berbulan bulan melamar pekerjaan, awal tahun 2000, saya akhirnya mendapat pekerjaan di Perusahaan Singapura yang akan membuka cabang di Jakarta dan harus 5 minggu training di sana. Sayang, belum 1 bulan di Singapura, terjadi teror di kantor Kejaksaan Jakarta dan rencana mereka batal. Saya menjadi 1-1nya trainee yang ditawari kontrak kerja selama 5 tahun dan dapat mengajukan Permanent Resident.
Ternyata suami tidak memenuhi persyaratan menjadi pekerja formal di Singapura. Jadi, dia berencana untuk tinggal di Batam, bayi kami ikut dia, dan kami akan bertemu 2-3 kali dalam sebulan. Meskipun tinggal di Bekasi penuh keterbatasan secara ekonomi, tetapi untuk memulai hidup baru di tempat asing pun membuat kami takut dan kuatir. Suami harus melepaskan pekerjaan di Jakarta, padahal dia sudah betah, malah jadi pengangguran di Batam. Bagaimana jika tidak kunjung mendapat pekerjaan? Di sisi lain, jika saya kembali ke Jakarta, krisis moneter masih berlangsung. Tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Jika salah satu dari kami terus mengganggur, ekonomi kami semakin berat.
Kami bergumul dalam doa.
Akhirnya saya menolak kontrak kerja tersebut dan memilih kembali ke Jakarta demi keluarga. Atasan saya terkejut dan menjawab, “Keputusan yang bodoh. Begitu banyak Indonesian yang ingin mendapatkan pekerjaan di sini, tetapi kamu yang ditawari malah menolak. Mau jadi apa kamu di sana? Indonesia yang rusuh? Kamu masih muda, tidak sulit untuk mencari suami di sini.”
Di luar dugaan saya sendiri, saya menjawab, “Di mana Tuhan beserta saya, saya tidak takut. Pekerjaan yang hilang bisa dicari, tetapi suami dan anak tidak terganti. Tuhan akan pelihara.”
Kejadian tersebut menjadi pelajaran bagi kami untuk introspeksi diri dan bersyukur. Kesulitan ekonomi yang dulu gampang memicu pertengkaran dan kekuatiran, bisa dihadapi dengan lebih sabar. Ada harga yang harus dibayar untuk kebersamaan keluarga dan kami yakin Tuhan akan membela keluarga lebih daripada harta benda.
Setelah beberapa bulan menganggur, saya akhirnya mendapat pekerjaan. 
Kantornya dekat dengan kantor suami sehingga kami bisa pergi dan pulang kerja bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar